Anggota kelompok :
KEMISKINAN
·
Fella Rahmawati
·
Chintan Khusnun
·
Rayyan Pangayoman
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Pada tahun 1990 yang
lalu, perhatian masyarakat terhadap masalah kemiskinan kembali digugah setelah
cukup lama tidak banyak diperbincangkan di media massa. Perhatian tersebut
berawal dari pernyataan Band Dunia (1990) di media massa yang memuji
keberhasilan Indonesia dalam mengurangi jumlah penduduk miskin.
Namun demikian, secara absolut jumlah penduduk
Indonesia yang masih hidup di bawah garis
kemiskinan ternyata masih banyak yakni 22,6 juta jiwa pada tahun 1996.
Selain itu, masih banyak penduduk yang pendapatannya hanya sedikit sekali di
atas batas garis kemiskinan. Oleh
karena itu, masalah kemiskinan ini masih tetap perlu diperhatikan secara serius
karena tujuan pembangunan Indonesia adalah pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya.
Menurut para ahli (Andre Bayo Ala, 1981), kemiskinan
itu bersifat multi dimensional. Artinya, karena kebutuhan manusia itu
bermacam-macam, maka kemiskinan pun memiliki banyak aspek. Dilihat dari
kebijakan umum, kemiskinan meliputi aspek primer yang berupa miskin akan aset,
organisasi sosial politik, dan pengetahuan serta keterampilan. Dan aspek sekunder
yang berupa miskin akan jaringan social, sumber-sumber keuangan dan informasi.
Dimensi-dimensi kemiskinan tersebut termanifestasikan dalam bentuk kekurangan
gizi, air, perumahan yang sehat, perawatan kesehatan yang kurang baik, dan
tingkat pendidikan yang rendah.
PENYEBAB KEMISKINAN
Para pembuat kebijakan pembangunan selalu berupaya
agar alokasi sumber daya dapat dinikmati oleh sebagian besar anggota
masyarakat. Namun, karena ciri dan keadaan masyarakat amat beragam dan ditambah
pula dengan tingkat kemajuan ekonomi Negara bersangkutan yang masih lemah, maka
kebijakan nasional umumnya diarahkan untuk memecahkan permasalahan jangka
pendek. Sehingga kebijakan pemerintah belum berhasil memecahkan persoalan
kelompok ekonomi tingkat bawah (Swapna Mukhopadhay, 1985). Selain itu,
kebijakan dalam negeri seringkali tidak terlepas dengan keadaan yang ada diluar
negeri secara tidak langsung mempengaruhi kebiakan antara lain dari segi
pendanaan pembangunan (Fredericks, 1985).
Dengan demikian, kemiskinan dapat diamati sebagai
kondisi anggota masyarakat yang tidak/ belum ikut serta dalam proses perubahan
karena tidak mempunyai kemampuan, baik kemampuan dalam pemilikan faktor
produksi maupun kualitas faktor produksi yang memadai. Sehingga, tidak
mendapatkan manfaat dari hasil proses pembangunan. Ketidak ikut sertaan dalam
proses pembangunan ini dapat disebabkan karena secara alamiah tidak/ belum
mampu mendayaguna faktor produksinya, dan dapat pula terjadi secara tidak
alamiah. Pembangunan yang direncanakan oleh pemerintah yang tidak sesuai dengan
kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk berpartisipasi berakibat manfaat
pembangunan tidak menjangkau mereka.
Oleh karena itu, kemiskinan merupakan masalah yang
muncul dalam masyarakat bertalian dengan pemilikan faktor produksi,
produktivitas dan tingkat perkembangan masyarakat sendiri, juga berkaitan
dengan kebijakan pembangunan nasional yang dilaksanakan. Dengan kata lain,
masalah kemiskinan ditimbulkan oleh hal yang sifatnya alamiah/ kultural juga
disebabkan oleh miskinnya strategi dan kebijakan pembangunan yang ada.
Sehingga, para pakar pemikir tentang kemiskinan kebanyakan melihat kemiskinan
sebagai masalah struktural. Dan pada akhirnya timbul istilah kemiskinan
struktural yakni kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena
struktur sosial masyarakat tersebut tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber
pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka (Selo Sumardjan, 1980).
INDIKATOR KEMISKINAN
1.
Tingkat
Konsumsi Beras
Sajogyo (1977)
menggunakan tingkat konsumsi beras perkapita sebagai indicator kemiskinan.
Untuk daerah perdesaan, penduduk dengan konsumsi beras kurang dari 240kg per
kapita per tahun bisa digolongkan miskin. Sedangkan untuk daerah perkotaan
adalah 360kg per kapita per tahun.
2.
Tingkat
Pendapatan
Menurut
BPS (1989) di daerah perkotaan pendapatan yang dibutuhkan untuk melepaskan diri
dari kategori miskin adalah Rp 4.522,00 perkapita pada tahun 1976, sedangkan
pada tahun 1993 adalah Rp 27.905,00.
Didaerah
perdesaan pendapatan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut lebih
rendah dibandingkan daerah perkotaan yakni sekitar Rp 2.849,00 pada tahun 1976
dan Rp 18.244 pada tahun 1993.
Hal
ini dapat dipahami karena dinamika kehidupan yang berbeda antara keduanya.
Penduduk perkotaan mempunyai kebutuhan yang relatif sangat beragam dibandingkan
dengan daerah perdesaan sehingga mempengaruhi pula pola pengeluarannya.
3.
Indikator
Kesejahteraan Rakyat
Selain
data pendapatan dan pengeluaran, ada berbagai komponen tingkat kesejahteraan
yang lain sering digunakan. Pada publikasi UN (1961) yang berjudul International
Definition and Measurement of Levels of Living: An Interim Guide
disarankan 9 komponen kesejahteraan yaitu, kesehatan, konsumsi makanan dan
gizi, pendidikan, kesempatan kerja, perumahan, jaminan sosial, sandang,
rekreasi, dan kebebasan.
UKURAN KEMISKINAN
1.
Kemiskinan
Absolut
Pada
dasarnya konsep kemiskinan dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan
kebutuhan. Perkiraan kebutuhan hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhn
dasar minimum yang memungkinkan seseorang untuk dapat hidup secara layak. Bila
pendapatan tidak dapat mencapai kebutuhan minimum, maka seseorang dapat
dikatakan miskin. Dengan demikian kamiskinan diukur dengan membandingkan
tingkat pendapatan orang dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk
memperoleh kebutuhan dasarnya. Tingkat pendapatan minimum merupakan pembatas
antara keadaan miskin dengan tidak miskin atau sering disebut sebagai garis batas kemiskinan.
2.
Kemiskinan
Relatif
Orang
yang sudah mempunyai tingkat pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan dasar
minimum tidak selalu berarti “tidak miskin”. Ada alhi yang berpendapat bahwa
walaupun pendapatan sudah mencapai tingkat kebutuhan dasar minimum, tetapi
masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan keadaan masyarakat disekitarnya,
maka orang tersebut masih berada dalam keadaan miskin. Ini terjadi karena
kemiskinan lebih banyak ditentukan oleh keadaan disekitarnya, dari pada
lingkungan orang yang bersangkutan (Miller, 1971).
Berdasarkan
konsep ini, garis kemiskinan akan mengalami perubahan bila tingkat hidup
masyarakat berubah. Hal ini jelas merupakan perbaikan dari konsep pemikiran
absolut. Konsep kemiskinan relative bersifat dinamis, sehingga kemiskinan akan
selalu ada.
STRATEGI/
KEBIJAKAN DALAM MENGURANGI KEMISKINAN
1.
Pembangunan
Pertanian
Sektor
pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi dan pengurangan kemiskinan
di Indonesia. Ada 3 aspek dari pembangunan pertanian yang telah memberikan
kontribusi yang cukup besar bagi pengurangan kemiskinan tersebut, terutama di
daerah perdesaan. Kontribusi terbesar bagi peningkatan pendapatan perdesaan
dihasilkan dari adanya revolusi teknologi dalam pertanian padi, termasuk
pembangunan irigasi. Kontribusi utama lainnya datang dari program Pemerintah
untuk meningkatkan produksi tanaman keras. Misalnya, lebih dari 200.000 petani
diluar Jawa telah dibantu untuk menanam karet, kelapa, dan kelapa sawit. Dan
akhirnya, pembangunan luar Jawa juga berperan dalam mengurangi kemiskinan.
2.
Pembangunan
Sumber Daya manusia
Perbaikan
akses terhadap konsumsi pelayanan social merupakan alat kebijakan penting dalam
strategi pemerintah secara keseluruhan untuk mengurangi kemiskinan dan
memperbaiki kesejahteraan penduduk Indonesia. Perluasan ruang lingkup dan
kualitas dari pelayanan pokok tersebut membutuhkan investasi modal insani yang
pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas golongan miskin tersebut.
Di
Indonesia atau dimana saja, pendidikan formal dan non formal bisa berperan
penting dalam mengurangi kemiskinan dalam jangka panjang, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Melalui perbaikan produktivitas dan efisiensi secara
umum, maupun secara langsung melalui pelatihan golongan miskin dengan
keterampilan yang dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas mereka dan pada
gilirannya akan meningkatkan pendapatan mereka.
3.
Peranan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
LSM
bisa memainkan peran yang lebih besar didalam perancangan dan implementasi
program pengurangan kemiskinan. Karena fleksibelitas dan pengetahuan mereka
tentang komunitas yang mereka bina, LSM ini untuk beberapa hal bisa menjangkau
golongan miskin tersebut secara lebih efektif ketimbang program-program
pemerintah. Keterlibatan LSM juga dapat meringankan biaya finansial dan staf
dalam pengimplementasian program padat karya untuk mengurangi kemiskinan.
KESENJANGAN SOSIAL
Perekonomian Indonesia tumbuh 6,1 persen, melampaui
target 5,8 persen. Nilai produk domestik bruto naik dari Rp. 5.603,9 triliun
pada 2009 menjadi Rp. 6.422,9 triliun tahun lalu. Namun, pertumbuhan ekonomi
ini meninmbulkan kesenjangan di masyarakat (Kompas,8/2/2011). Pengamat ekonomi
Yanuar Rizky (2011), mengatakan bahwa kelompok masyarakat yang sangat kaya
masih menjadi penyokong utama pertumbuhan ekonomi melalui konsumsi rumah tangga
mereka. Sementara sektor industri berorientasi penciptaan nilai tambah penyerap
lapangan kerja, yang menjadi salah satu indikator kesuksesan pertumbuhan
ekonomi, justru kian melemah. Dalam perspektif ekonomi politik, ketimpangan
pembangunan antarsektor ekonomi akibat kegagalan strategi pembangunan. Dukungan
kebijakan terhadap pembangunan sektor industri tanpa menyertakan sector pertanian
di masa lampau telah menciptakan banyak kantong-kantong orang miskin (Yustika,
2009). Sayangnya, pengembangan skctor industri secara besar-besaran yang
digerakkan oleh pemerintah justru mengalami kegagalan, padahal kebijakan khusus
telah diberikan, misalnya
subsidi, tata niaga, lisensi dan monopoli. Sebaliknya, akibat kebijakan khususu
tersebut, sektor industri yang dikembangkan struktur pasarnya menjadi sangat
terkosentrasi. Kepala Badan Pusat Statistik Rusman Heriawan mengumumkan, bahwa
pertumbuhan ekonomi pada 2010 dengan nilai produk domestic bruto (PDB) Rp.
6.422,9 triliun dan pendapatan per kapita mencapai Rp. 27 juta per tahun
(Kompas, 8/2/2011). Jumlah ini didapat dari membagi Rp. 6.422,9 triliun dengan
237,6 juta penduduk Indonesia.
Rusman menjelaskan, konsumsi rumah tangga menyumbang
kue pertumbuhan terbesar, yakni 56,7 persen, disusul investasi 32,2 persen.
Idealnya, konsumsi rumah tangga terus menurun hingga di bawah 50 persen, seperti
yang terjadi di Negara-negara maju. Menurut Yanuar, konsumsi rumah tangga yang
tinggi tersebut sebagian besar didukung oleh kelompok masyarakat berpendapatan tinggi.
Konsumsi nasional pun ternyata gagal mendorong kegiatan produksi karena
sebagian besar kebutuhan domestic didapat dari impor.
Pertumbuhan ekonomi yang kuat menuju 2013 dengan sistem
ekonomi terbuka sama sekali bukan jaminan bahwa kesenjangn kaya-miskin di
Indonesia akan berkurang banyak. AS saja, sebagai Negara dengan ekonomi terbesar
di dunia, mengalami problem dalam kesenjangan
kaya-miskin itu (Sayidiman Suryohadiprojo, 2011). Di harian The New York Time edisi
2 Januari 2011 ada tulisan Nicholas D Kristof, “Equality, a True Soul Food”. Tulisan
itu berhubungan dengan kondisi masyarakat AS dewasa ini yang menurut Economic
Policy Institute di Washington DC, sekarang mengalami pembagian kekayaan sangat
tak wajar. Kesenjangan yang lebar tak hanya berakibat pada ekonomi, tetapi juga
amat besar dampaknya terhadap kondisi psikologi bangsa. Maka boleh dikatakan
bahwa “ kesenjangan adalah kerawanan yang besar”. Hal ini juga berlaku bagi
bangsa Indonesia.
Substansi dari kesenjangan adalah ketidakmerataan
akses terhadap sumber daya ekonomi. Masalah kesenjangan adalah masalah
keadilan, yang berkaitan dengan masalah sosial (Oman Sukmana, 2005). Masalah
kesenjangan mempunyai kaitan erat dengan masalah kemiskinan. Reaksi lain
terhadap meruyaknya ketimpangan-ketimpangan dalam pembagian pendapatan yang
terselubung di balik angkaangka GNP dating dari mereka yang diidentikan sebagai
pencetus indikator pembangunan nonekonomi. Meskipun corak ekonomi masih jelas
dalam konsep mereka, namun ada perubahan fundamental di dalam cara memberikan
makna pertumbuhan ekonomi itu sendiri jika dibanding dengan ide pendukung indikator
pembangunan ekonomi klasik. Tokoh utama pendukung indikator nonekonomi ini, Dudley
Seers, sebagaimana dikutip Moeljarto (1987), menegaskan bahwa ada tiga hal yang
perlu ditanyakan tentang pembangunan suatu Negara, yaitu apa yang tengah
terjadi dengan kemiskinan; apa yang tengah terjadi dengan pengangguran; dan apa
yang tengah terjadi dengan ketimpangan. Apabila jawaban atas ketiga hal
tersebut adalah “penurunan secara substansial” maka tidak diragukan lagi bahwa negara
tersebut baru mengalami periode pembangunan.
HUBUNGAN ANTARA KESENJANGAN
PENDAPATAN DENGAN PERTUMBUHAN EKONOMI
Hubungan antara tingkat kesenjangan pendapatan
dengan pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan dengan Kuznet Hypothesis. Hipotesis
tersebut berawal dari pertumbuhan ekonomi (berasal dari tingkat pendapatan yang
rendah berasosiasi dalam suatu masyarakat agraris pada tingkat awal) yang pada
mulanya menaik pada tingkat kesenjangan pendapatan rendah hingga sampai pada
suatu tingkat pertumbuhan tertentu selanjutnya menurun. Indikasi yang diberikan
oleh Kuznet di atas didasarkan pada riset dengan menggunakan data time
series terhadap indikator kesenjangan negara Inggris, Jerman, dan Amerika
Serikat. Kuznet Hypothesis Pemikiran
tentang mekanisme yang terjadi pada phenomena “Kuznet” bermula dari transfer yang
berasal dari sektor tenaga kerja dengan produktivitas rendah (dan tingkat kesenjangan
pendapatannya rendah), ke sektor yang mempunyai produktivitas tinggi (dan
tingkat kesenjangan menengah).
Dengan adanya kesenjangan antar sektor maka secara subtansial
akan menaikan kesenjangan diantara tenaga kerja yang bekerja pada masing-masing
sektor (Ferreira, 1999, 4). Versi dinamis dari Kuznet Hypothesis, menyatakan
bahwa kecepatan pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun (dasa warsa)
memberikan indikasi naiknya tingkat kesenjangan pendapatan dengan memperhatikan
initial level of income (Deininger & Squire, 1996a). Periode
pertumbuhan ekonomi yang hampir merata sering berasosiasi dengan kenaikan
kesenjangan pendapatan yang menurun. Reformasi ekonomi yang terjadi pada transisi
perekonomian di Eropa Timur dan Asia Tengah (ECA=Eastern Europe and Central
Asia) memberikan kesimpulan nyata (empirical result) yang berbeda.
Dengan memperhatikan sampel dari 64 perubahan dalam rata-rata pendapatan dan
kesenjangan antara tahun 1984 dan 1994 Ravalion dan Chen (1997) menemukan
hubungan yang signifikan dan berkorelasi negatif antara pertumbuhan ekonomi
dengan perubahan Inequality kesenjangan.
Hasil riset
ini memberikan petunjuk bahwa kenaikan pertumbuhan ekonomi akan menurunkan
kesenjangan pendapatan, daripada memberikan kontribusi atas kenaikan kesenjangan
pendapatan (Ravallion dan Chen, 1997: 370). Hal ini memberikan reaksi yang positif
terhadap hubungan antara pertumbuhan dengan pemerataan dan secara spesifik
memberikan arah yang baik bagi proses reformasi di ECA, tetapi satu kasus belum
cukup untuk digeneralisasikan bagi studi tentang hubungan antara pertumbuhan
dengan kesenjangan pendapatan.
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Masalah
kemiskinan di Indonesia saat ini dirasakan sudah sangat mendesak untuk
ditangani, khususnya di wilayah perkotaan. Salah satu ciri umum dari kondisi
masyarakat yang miskin adalah tidak memiliki sarana dan prasarana dasar perumahan
dan permukiman yang memadai, kualitas lingkungan yang kumuh, tidak layak huni. Memang
kemiskinan tidak akan hilang, tapi tidak juga tertutup kemungkinan untuk
mengurangi persentase kemiskinan. Masalah kemiskinan di Indonesia memang sangat
rumit untuk dipecahkan. Tidak hanya di Indonesia saja sebenarnya yang mengalami
jerat kemiskinan, tetapi banyak Negara di dunia yang mengalami permasalahan
ini.
Upaya
penurunan tingkat kemiskinan sangat bergantung pada pelaksanaan dan pencapaian
pembangunan di berbagai bidang. Oleh karena itu, agar pengurangan angka
kemiskinan dapat tercapai, dibutuhkan sinergi dan koordinasi program-program
pembangunan diberbagai sektor, terutama program yang menyumbang langsung
penurunan kemiskinan.
Negara
yang ingin membangun perekonomiannya harus mampu meningkatkan standar hidup
penduduk negaranya, yang diukur dengan kenaikan penghasilan riil per kapita. Indonesia
sebagai Negara berkembang memenuhi aspek standar kemiskinan diantaranya
merupakan produsen barang primer, memiliki masalah tekanan penduduk, kurang
optimalnya sumber daya alam yang diolah, produkivitas penduduk yang rendah
karena keterbelakangan pendidikan, kurangnya modal pembangunan, dan orientasi
ekspor barang primer karena ketidakmampuan dalam mengolah barang-barang
tersebut menjadi lebih berguna.
SUMBER :
Lincolin
Arsyad, 1999. Ekonomi pembangunan;
Edisi ke-4 cetakan ke-1. Yogyakarta: Bagian penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi YKPN.
http://puslit.kemsos.go.id/jurnal-penelitian/114/kemiskinan-dan-kesenjangan-sosial#sthash.aXc8LmV4.dpbs
http://www.jurnal.uii.ac.id/index.php/JEP/article/viewFile/621/547
http://puslit.kemsos.go.id/jurnal-penelitian/114/kemiskinan-dan-kesenjangan-sosial#sthash.aXc8LmV4.dpbs
http://www.jurnal.uii.ac.id/index.php/JEP/article/viewFile/621/547
Tidak ada komentar:
Posting Komentar