Jumat, 14 April 2017

Kemiskinan dan Kesenjangan

    Anggota kelompok :
·        Fella Rahmawati
·        Chintan Khusnun
·        Rayyan Pangayoman

    KEMISKINAN

Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Pada tahun 1990 yang lalu, perhatian masyarakat terhadap masalah kemiskinan kembali digugah setelah cukup lama tidak banyak diperbincangkan di media massa. Perhatian tersebut berawal dari pernyataan Band Dunia (1990) di media massa yang memuji keberhasilan Indonesia dalam mengurangi jumlah penduduk miskin.
Namun demikian, secara absolut jumlah penduduk Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan ternyata masih banyak yakni 22,6 juta jiwa pada tahun 1996. Selain itu, masih banyak penduduk yang pendapatannya hanya sedikit sekali di atas batas garis kemiskinan. Oleh karena itu, masalah kemiskinan ini masih tetap perlu diperhatikan secara serius karena tujuan pembangunan Indonesia adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.

Menurut para ahli (Andre Bayo Ala, 1981), kemiskinan itu bersifat multi dimensional. Artinya, karena kebutuhan manusia itu bermacam-macam, maka kemiskinan pun memiliki banyak aspek. Dilihat dari kebijakan umum, kemiskinan meliputi aspek primer yang berupa miskin akan aset, organisasi sosial politik, dan pengetahuan serta keterampilan. Dan aspek sekunder yang berupa miskin akan jaringan social, sumber-sumber keuangan dan informasi. Dimensi-dimensi kemiskinan tersebut termanifestasikan dalam bentuk kekurangan gizi, air, perumahan yang sehat, perawatan kesehatan yang kurang baik, dan tingkat pendidikan yang rendah. 

     PENYEBAB KEMISKINAN

Para pembuat kebijakan pembangunan selalu berupaya agar alokasi sumber daya dapat dinikmati oleh sebagian besar anggota masyarakat. Namun, karena ciri dan keadaan masyarakat amat beragam dan ditambah pula dengan tingkat kemajuan ekonomi Negara bersangkutan yang masih lemah, maka kebijakan nasional umumnya diarahkan untuk memecahkan permasalahan jangka pendek. Sehingga kebijakan pemerintah belum berhasil memecahkan persoalan kelompok ekonomi tingkat bawah (Swapna Mukhopadhay, 1985). Selain itu, kebijakan dalam negeri seringkali tidak terlepas dengan keadaan yang ada diluar negeri secara tidak langsung mempengaruhi kebiakan antara lain dari segi pendanaan pembangunan (Fredericks, 1985).
Dengan demikian, kemiskinan dapat diamati sebagai kondisi anggota masyarakat yang tidak/ belum ikut serta dalam proses perubahan karena tidak mempunyai kemampuan, baik kemampuan dalam pemilikan faktor produksi maupun kualitas faktor produksi yang memadai. Sehingga, tidak mendapatkan manfaat dari hasil proses pembangunan. Ketidak ikut sertaan dalam proses pembangunan ini dapat disebabkan karena secara alamiah tidak/ belum mampu mendayaguna faktor produksinya, dan dapat pula terjadi secara tidak alamiah. Pembangunan yang direncanakan oleh pemerintah yang tidak sesuai dengan kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk berpartisipasi berakibat manfaat pembangunan tidak menjangkau mereka.
Oleh karena itu, kemiskinan merupakan masalah yang muncul dalam masyarakat bertalian dengan pemilikan faktor produksi, produktivitas dan tingkat perkembangan masyarakat sendiri, juga berkaitan dengan kebijakan pembangunan nasional yang dilaksanakan. Dengan kata lain, masalah kemiskinan ditimbulkan oleh hal yang sifatnya alamiah/ kultural juga disebabkan oleh miskinnya strategi dan kebijakan pembangunan yang ada. Sehingga, para pakar pemikir tentang kemiskinan kebanyakan melihat kemiskinan sebagai masalah struktural. Dan pada akhirnya timbul istilah kemiskinan struktural yakni kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat tersebut tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka (Selo Sumardjan, 1980).

    INDIKATOR KEMISKINAN

1.      Tingkat Konsumsi Beras

    Sajogyo (1977) menggunakan tingkat konsumsi beras perkapita sebagai indicator kemiskinan. Untuk daerah perdesaan, penduduk dengan konsumsi beras kurang dari 240kg per kapita per tahun bisa digolongkan miskin. Sedangkan untuk daerah perkotaan adalah 360kg per kapita per tahun.

2.      Tingkat Pendapatan

Menurut BPS (1989) di daerah perkotaan pendapatan yang dibutuhkan untuk melepaskan diri dari kategori miskin adalah Rp 4.522,00 perkapita pada tahun 1976, sedangkan pada tahun 1993 adalah Rp 27.905,00.
Didaerah perdesaan pendapatan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut lebih rendah dibandingkan daerah perkotaan yakni sekitar Rp 2.849,00 pada tahun 1976 dan Rp 18.244 pada tahun 1993.
Hal ini dapat dipahami karena dinamika kehidupan yang berbeda antara keduanya. Penduduk perkotaan mempunyai kebutuhan yang relatif sangat beragam dibandingkan dengan daerah perdesaan sehingga mempengaruhi pula pola pengeluarannya.

3.      Indikator Kesejahteraan Rakyat

Selain data pendapatan dan pengeluaran, ada berbagai komponen tingkat kesejahteraan yang lain sering digunakan. Pada publikasi UN (1961) yang berjudul International Definition and Measurement of Levels of Living: An Interim Guide disarankan 9 komponen kesejahteraan yaitu, kesehatan, konsumsi makanan dan gizi, pendidikan, kesempatan kerja, perumahan, jaminan sosial, sandang, rekreasi, dan kebebasan.

     UKURAN KEMISKINAN

1.      Kemiskinan Absolut

Pada dasarnya konsep kemiskinan dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan. Perkiraan kebutuhan hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhn dasar minimum yang memungkinkan seseorang untuk dapat hidup secara layak. Bila pendapatan tidak dapat mencapai kebutuhan minimum, maka seseorang dapat dikatakan miskin. Dengan demikian kamiskinan diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan orang dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasarnya. Tingkat pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan miskin dengan tidak miskin atau sering disebut sebagai garis batas kemiskinan.

2.      Kemiskinan Relatif

Orang yang sudah mempunyai tingkat pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum tidak selalu berarti “tidak miskin”. Ada alhi yang berpendapat bahwa walaupun pendapatan sudah mencapai tingkat kebutuhan dasar minimum, tetapi masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan keadaan masyarakat disekitarnya, maka orang tersebut masih berada dalam keadaan miskin. Ini terjadi karena kemiskinan lebih banyak ditentukan oleh keadaan disekitarnya, dari pada lingkungan orang yang bersangkutan (Miller, 1971).
Berdasarkan konsep ini, garis kemiskinan akan mengalami perubahan bila tingkat hidup masyarakat berubah. Hal ini jelas merupakan perbaikan dari konsep pemikiran absolut. Konsep kemiskinan relative bersifat dinamis, sehingga kemiskinan akan selalu ada.



STRATEGI/ KEBIJAKAN DALAM MENGURANGI KEMISKINAN

1.      Pembangunan Pertanian

Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi dan pengurangan kemiskinan di Indonesia. Ada 3 aspek dari pembangunan pertanian yang telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pengurangan kemiskinan tersebut, terutama di daerah perdesaan. Kontribusi terbesar bagi peningkatan pendapatan perdesaan dihasilkan dari adanya revolusi teknologi dalam pertanian padi, termasuk pembangunan irigasi. Kontribusi utama lainnya datang dari program Pemerintah untuk meningkatkan produksi tanaman keras. Misalnya, lebih dari 200.000 petani diluar Jawa telah dibantu untuk menanam karet, kelapa, dan kelapa sawit. Dan akhirnya, pembangunan luar Jawa juga berperan dalam mengurangi kemiskinan.

2.      Pembangunan Sumber Daya manusia

Perbaikan akses terhadap konsumsi pelayanan social merupakan alat kebijakan penting dalam strategi pemerintah secara keseluruhan untuk mengurangi kemiskinan dan memperbaiki kesejahteraan penduduk Indonesia. Perluasan ruang lingkup dan kualitas dari pelayanan pokok tersebut membutuhkan investasi modal insani yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas golongan miskin tersebut.
Di Indonesia atau dimana saja, pendidikan formal dan non formal bisa berperan penting dalam mengurangi kemiskinan dalam jangka panjang, baik secara langsung maupun tidak langsung. Melalui perbaikan produktivitas dan efisiensi secara umum, maupun secara langsung melalui pelatihan golongan miskin dengan keterampilan yang dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas mereka dan pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan mereka.

3.      Peranan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

LSM bisa memainkan peran yang lebih besar didalam perancangan dan implementasi program pengurangan kemiskinan. Karena fleksibelitas dan pengetahuan mereka tentang komunitas yang mereka bina, LSM ini untuk beberapa hal bisa menjangkau golongan miskin tersebut secara lebih efektif ketimbang program-program pemerintah. Keterlibatan LSM juga dapat meringankan biaya finansial dan staf dalam pengimplementasian program padat karya untuk mengurangi kemiskinan.

      KESENJANGAN SOSIAL

Perekonomian Indonesia tumbuh 6,1 persen, melampaui target 5,8 persen. Nilai produk domestik bruto naik dari Rp. 5.603,9 triliun pada 2009 menjadi Rp. 6.422,9 triliun tahun lalu. Namun, pertumbuhan ekonomi ini meninmbulkan kesenjangan di masyarakat (Kompas,8/2/2011). Pengamat ekonomi Yanuar Rizky (2011), mengatakan bahwa kelompok masyarakat yang sangat kaya masih menjadi penyokong utama pertumbuhan ekonomi melalui konsumsi rumah tangga mereka. Sementara sektor industri berorientasi penciptaan nilai tambah penyerap lapangan kerja, yang menjadi salah satu indikator kesuksesan pertumbuhan ekonomi, justru kian melemah. Dalam perspektif ekonomi politik, ketimpangan pembangunan antarsektor ekonomi akibat kegagalan strategi pembangunan. Dukungan kebijakan terhadap pembangunan sektor industri tanpa menyertakan sector pertanian di masa lampau telah menciptakan banyak kantong-kantong orang miskin (Yustika, 2009). Sayangnya, pengembangan skctor industri secara besar-besaran yang digerakkan oleh pemerintah justru mengalami kegagalan, padahal kebijakan khusus telah diberikan, misalnya subsidi, tata niaga, lisensi dan monopoli. Sebaliknya, akibat kebijakan khususu tersebut, sektor industri yang dikembangkan struktur pasarnya menjadi sangat terkosentrasi. Kepala Badan Pusat Statistik Rusman Heriawan mengumumkan, bahwa pertumbuhan ekonomi pada 2010 dengan nilai produk domestic bruto (PDB) Rp. 6.422,9 triliun dan pendapatan per kapita mencapai Rp. 27 juta per tahun (Kompas, 8/2/2011). Jumlah ini didapat dari membagi Rp. 6.422,9 triliun dengan 237,6 juta penduduk Indonesia.
Rusman menjelaskan, konsumsi rumah tangga menyumbang kue pertumbuhan terbesar, yakni 56,7 persen, disusul investasi 32,2 persen. Idealnya, konsumsi rumah tangga terus menurun hingga di bawah 50 persen, seperti yang terjadi di Negara-negara maju. Menurut Yanuar, konsumsi rumah tangga yang tinggi tersebut sebagian besar didukung oleh kelompok masyarakat berpendapatan tinggi. Konsumsi nasional pun ternyata gagal mendorong kegiatan produksi karena sebagian besar kebutuhan domestic didapat dari impor.
Pertumbuhan ekonomi yang kuat menuju 2013 dengan sistem ekonomi terbuka sama sekali bukan jaminan bahwa kesenjangn kaya-miskin di Indonesia akan berkurang banyak. AS saja, sebagai Negara dengan ekonomi terbesar di dunia, mengalami problem dalam  kesenjangan kaya-miskin itu (Sayidiman Suryohadiprojo, 2011). Di harian The New York Time edisi 2 Januari 2011 ada tulisan Nicholas D Kristof, “Equality, a True Soul Food”. Tulisan itu berhubungan dengan kondisi masyarakat AS dewasa ini yang menurut Economic Policy Institute di Washington DC, sekarang mengalami pembagian kekayaan sangat tak wajar. Kesenjangan yang lebar tak hanya berakibat pada ekonomi, tetapi juga amat besar dampaknya terhadap kondisi psikologi bangsa. Maka boleh dikatakan bahwa “ kesenjangan adalah kerawanan yang besar”. Hal ini juga berlaku bagi bangsa Indonesia.
Substansi dari kesenjangan adalah ketidakmerataan akses terhadap sumber daya ekonomi. Masalah kesenjangan adalah masalah keadilan, yang berkaitan dengan masalah sosial (Oman Sukmana, 2005). Masalah kesenjangan mempunyai kaitan erat dengan masalah kemiskinan. Reaksi lain terhadap meruyaknya ketimpangan-ketimpangan dalam pembagian pendapatan yang terselubung di balik angkaangka GNP dating dari mereka yang diidentikan sebagai pencetus indikator pembangunan nonekonomi. Meskipun corak ekonomi masih jelas dalam konsep mereka, namun ada perubahan fundamental di dalam cara memberikan makna pertumbuhan ekonomi itu sendiri jika dibanding dengan ide pendukung indikator pembangunan ekonomi klasik. Tokoh utama pendukung indikator nonekonomi ini, Dudley Seers, sebagaimana dikutip Moeljarto (1987), menegaskan bahwa ada tiga hal yang perlu ditanyakan tentang pembangunan suatu Negara, yaitu apa yang tengah terjadi dengan kemiskinan; apa yang tengah terjadi dengan pengangguran; dan apa yang tengah terjadi dengan ketimpangan. Apabila jawaban atas ketiga hal tersebut adalah “penurunan secara substansial” maka tidak diragukan lagi bahwa negara tersebut baru mengalami periode pembangunan.

 HUBUNGAN ANTARA KESENJANGAN PENDAPATAN DENGAN PERTUMBUHAN EKONOMI

Hubungan antara tingkat kesenjangan pendapatan dengan pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan dengan Kuznet Hypothesis. Hipotesis tersebut berawal dari pertumbuhan ekonomi (berasal dari tingkat pendapatan yang rendah berasosiasi dalam suatu masyarakat agraris pada tingkat awal) yang pada mulanya menaik pada tingkat kesenjangan pendapatan rendah hingga sampai pada suatu tingkat pertumbuhan tertentu selanjutnya menurun. Indikasi yang diberikan oleh Kuznet di atas didasarkan pada riset dengan menggunakan data time series terhadap indikator kesenjangan negara Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat.  Kuznet Hypothesis Pemikiran tentang mekanisme yang terjadi pada phenomena “Kuznet” bermula dari transfer yang berasal dari sektor tenaga kerja dengan produktivitas rendah (dan tingkat kesenjangan pendapatannya rendah), ke sektor yang mempunyai produktivitas tinggi (dan tingkat kesenjangan menengah).
Dengan adanya kesenjangan antar sektor maka secara subtansial akan menaikan kesenjangan diantara tenaga kerja yang bekerja pada masing-masing sektor (Ferreira, 1999, 4). Versi dinamis dari Kuznet Hypothesis, menyatakan bahwa kecepatan pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun (dasa warsa) memberikan indikasi naiknya tingkat kesenjangan pendapatan dengan memperhatikan initial level of income (Deininger & Squire, 1996a). Periode pertumbuhan ekonomi yang hampir merata sering berasosiasi dengan kenaikan kesenjangan pendapatan yang menurun. Reformasi ekonomi yang terjadi pada transisi perekonomian di Eropa Timur dan Asia Tengah (ECA=Eastern Europe and Central Asia) memberikan kesimpulan nyata (empirical result) yang berbeda. Dengan memperhatikan sampel dari 64 perubahan dalam rata-rata pendapatan dan kesenjangan antara tahun 1984 dan 1994 Ravalion dan Chen (1997) menemukan hubungan yang signifikan dan berkorelasi negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan perubahan Inequality kesenjangan.
 Hasil riset ini memberikan petunjuk bahwa kenaikan pertumbuhan ekonomi akan menurunkan kesenjangan pendapatan, daripada memberikan kontribusi atas kenaikan kesenjangan pendapatan (Ravallion dan Chen, 1997: 370). Hal ini memberikan reaksi yang positif terhadap hubungan antara pertumbuhan dengan pemerataan dan secara spesifik memberikan arah yang baik bagi proses reformasi di ECA, tetapi satu kasus belum cukup untuk digeneralisasikan bagi studi tentang hubungan antara pertumbuhan dengan kesenjangan pendapatan.


KESIMPULAN


Masalah kemiskinan di Indonesia saat ini dirasakan sudah sangat mendesak untuk ditangani, khususnya di wilayah perkotaan. Salah satu ciri umum dari kondisi masyarakat yang miskin adalah tidak memiliki sarana dan prasarana dasar perumahan dan permukiman yang memadai, kualitas lingkungan yang kumuh, tidak layak huni. Memang kemiskinan tidak akan hilang, tapi tidak juga tertutup kemungkinan untuk mengurangi persentase kemiskinan. Masalah kemiskinan di Indonesia memang sangat rumit untuk dipecahkan. Tidak hanya di Indonesia saja sebenarnya yang mengalami jerat kemiskinan, tetapi banyak Negara di dunia yang mengalami permasalahan ini.
Upaya penurunan tingkat kemiskinan sangat bergantung pada pelaksanaan dan pencapaian pembangunan di berbagai bidang. Oleh karena itu, agar pengurangan angka kemiskinan dapat tercapai, dibutuhkan sinergi dan koordinasi program-program pembangunan diberbagai sektor, terutama program yang menyumbang langsung penurunan kemiskinan.

Negara yang ingin membangun perekonomiannya harus mampu meningkatkan standar hidup penduduk negaranya, yang diukur dengan kenaikan penghasilan riil per kapita. Indonesia sebagai Negara berkembang memenuhi aspek standar kemiskinan diantaranya merupakan produsen barang primer, memiliki masalah tekanan penduduk, kurang optimalnya sumber daya alam yang diolah, produkivitas penduduk yang rendah karena keterbelakangan pendidikan, kurangnya modal pembangunan, dan orientasi ekspor barang primer karena ketidakmampuan dalam mengolah barang-barang tersebut menjadi lebih berguna. 

    SUMBER :
    Lincolin Arsyad, 1999. Ekonomi pembangunan; Edisi ke-4 cetakan ke-1. Yogyakarta: Bagian penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN.
http://puslit.kemsos.go.id/jurnal-penelitian/114/kemiskinan-dan-kesenjangan-sosial#sthash.aXc8LmV4.dpbs
http://www.jurnal.uii.ac.id/index.php/JEP/article/viewFile/621/547




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

7 TEKNIK AUDIT

Fella Rahmawati (22216779) 4EB06 Vclass Minggu 12 AFAI  7 Teknik Audit :  Memeriksa Fisik (Physical examination) Memeriksa fisi...