1.
Mengenali
Usaha Kecil Indonesia
Pentingnya
usaha kecil dalam pengembangan struktur industri di Negara-negara berkembang
telah dibuktikan oleh beberapa studi. Di Indonesia, pembangunan usaha kecil
mempunyai arti strategis, yaitu untuk memperluas kesempatan kerja dan berusaha
meningkatkan derajat distribusi pendapatan. Menyadari peran usaha kecil yang
strategis ini tidak heran jika pemerintah memberikan perhatian besar dalam
berbagai bentuk kebijakan.
Upaya
mengenali usaha kecil di Indonesia tentu akan dimulai dari pengertian tentang
usaha kecil itu sendiri. Persoalan selanjutnya adalah munculnya berbagai batasan
pengertian tentang usaha kecil akibat dari banyaknya instansi dan lembaga yang
terlibat dalam pengembangan usaha kecil. Tidak heran jika seringkali muncul
kerancuan mengenai pengertian “industri kecil” dengan “usaha kecil”. Dalam hal
ini Biro Pusat Statistik (BPS), mendeteksi usaha kecil yang difokuskan pada
industri manufaktur dengan menggunakan kriteria serapan tenaga kerja. Sedangkan
menurut BPS, industri kecil dicatat sebagai suatu perusahaan manufaktur yang
memperkerjakan tenaga kerja antara 5-19 orang.
Departemen
Perindustrian dan Perdagangan membagi usaha kecil menjadi dua kelompok, yaitu
industry kecil dan perdagangan kecil. Industri kecil adalah usaha industri yang
memiliki investasi peralatan dibawah Rp 70 juta, jumlah pekerja dibawah 20
orang, serta memiliki asset perusahaan tidak lebih dari Rp 100 juta. Sementara
itu, perdagangan kecil digolongkan sebagai perusahaan yang bergerak dibidang
perdagangan atau jasa komersial yang memiliki modal kurang dari Rp 80 juta
serta perusahaan yang bergerak dibidang usaha produksi atau industri yang
memiliki modal maksimal Rp 200 juta.
2. Mengembangkan Pengusaha Kecil dan
Menengah
Sepertinya
pemerintah bersungguh-sungguh dalam niatnya mengembangkan pengusaha berskala
kecil dan menengah. Ini terbaca di dalam pidato Presiden Soeharto di depan
Sidang Paripurna DPR tanggal 6 Januari 1994 ketika menyampaikan Nota Keuangan
dan RAPBN 1994/ 1995, dan di dalam ceramah Menteri Koperasi dan PPK Soebiakto
Tjakrawerdaya di dalam suatu seminar di Jakarta, 19 Januari 1994. Hubungan yang
demikian harus saling menguntungkan dan tunduk pada mekanisme pasar. Maka yang
menentukan adalah harga, mutu, ketepatan waktu penyerahan barang, bukan belas
kasihan atau sedekah.
Didalam
proses pembuatan laba, para pengusaha baik yang kecil maupun menengah atau
besar tidak dapat melepaskan diri dari hukum-hukum ekonomi bisnis. Ada
perbedaan yang tegas dan jelas antara di satu pihak proses pembuatan laba yang
tunduk pada hukum ekonomi bisnis, mekanisme pasar dengan persaingan yang keras,
dan di lain pihak penggunaan laba untuk sedekah, bederma serta bersosial.
Keduanya tidak bisa dicampuradukkan. Syukurlah bahwa pemerintah sudah
mengetahui dan meninggalkannya.
Memang
sudah sangat mendesak waktunya kita mencurahkan seluruh daya dan upaya untuk
pengembangan pengusaha kecil dan menengah. Sudah teramat banyak orang yang
menyuarakan ini, dan sudah terlampau sering hal ini dikemukakan, sehingga
memang keterlaluan kalau pemerintah tidak saja peka. Alasan-alasan obyektifnya
juga sudah sangat banyak. Penganakemasan terhadap pengusaha besar dan raksasa,
kemudahan perizinan, fasilitas prasarana, pemanjaan proteksi dan pengucuran
kredit tanpa batas sudah terlampau lama diberikan kepada mereka. Akibat dari
kesemuanya ini adalah kesenjangan sudah terlampau tajam, rakyat kita sudah
semakin pandai dan banyak membaca, sehingga sudah mengerti bahwa ini tidak
adil, semuanya ini sudah tidak sejalan lagi dengan semangat UUD dan konsekuen
terhadap Pancasila.
Sekarang
ini sudah terlanjur ada banyak pengusaha berskala besar dan raksasa dengan
konglomeratnya yang sudah mempunyai jangkauan seperti oktopus. Untuk banyak
barang mereka juga sekaligus mempunyai kedudukan monopolistik. Selama kedudukan
monopolistiknya dipertahankan, apa pun yang dipikirkan dan yang akan dilakukan
untuk mengembangkan pengusaha kecil dan menengah akan mubazir. Maka dari itu
pemerintah harus berperan aktif dalam membubarkan kedudukan monopoli ini. Untuk
tujuan tersebut pada saat ini terbuka peluang emas, karena banyak konglomerat
sekarang ini sedang dilanda kredit macet. Seluruh asetnya sudah jauh lebih
kecil dibandingkan utangnya banyak yang dari bank BUMN.
Pemerintah
mempunyai peluang untuk memecah konglomerat dengan landasan moral dan keadilan
yang kuat. Perusahaan seluruhnya disita, karena jelas-jelas sudah macet didalam
pembayaran bunga dan cicilan utang pokoknya. Lalu konglomerat ini di
pecah-pecah menjadi perusahaan individual dengan focus bidang usahanya yang
terspesialisasi. Pengelolaan diserahkan kepada manajer professional yang
diseleksi dengan ketat. Lalu demi keadilan, para mantan pemilik konglomerat
harus di periksa oleh pengadilan khusus yang pembentukannya pernah dilontarkan
oleh Menteri Keuangan. Yang telah melakukan tindakan kejahatan harus dihukum
sesuai dengan undang-undang yang berlaku, atau dibuat undang-undang khusus yang
memungkinkan mereka dijadikan criminal, sehingga bisa dipenjarakan.
Bagaimana
dengan perusahaan-perusahaan berskala kecil? Mereka sudah ada dan sangat
banyak, yaitu para petani yang bukan petani buruh, para peternak, nelayan,
perajin, pedagang nonformal dan pengusaha tradisional. Mereka dihimpun dalam
koperasi yang orientasinya diubah sama sekali menjadi unit-unit usaha yang
harus mampu bersaing di pasar dengan pengusaha yang manapun, baik yang berskala
menengah maupun yang berskala besar.
3. Pemerintah dan Usaha Kecil
Akhir-akhir
ini suara dari pemerintah yang memihak dan membela usaha kecil semakin santer.
Pemerintah bahkan sedang sibuk-sibuknya menyiapkan rancangan Undang-undang Pembinaan
Usaha Kecil yang harus diajukan ke DPR secepat mungkin. Yang menjadi pertanyaan
adalah mengapa dibutuhkan undang-undang kalau kita sudah mempunyai departemen
yang harus membina usaha kecil dengan seorang menteri sebagai kepalanya?
Undang-undang sangat penting untuk memberikan landasan bagi badan khusus yang
melakukan pembinaan dan pembelaan usaha kecil. Badan ini sudah ada dan sudah
merupakan badan eksekutif tertinggi dengan seorang menteri sebagai kepalanya,
yang langsung dibawah Presiden.
Di
Amerika Serikat, badan yang membela dan membina usaha kecil merupakan badan
independen, karena diberi wewenang untuk menguji kebijaksanaan pemerintah,
apakah membela dan melindungi usaha kecil atau merugikan. Badan yang bernama Small Business Administration juga
mempunyai wewenang mengharuskan badan-badan pemerintah yang terkait ikut serta
di dalam pembelaan dan pembinaan usaha kecil. Badan ini juga mempunyai wewenang
mencadangkan sebagian dari pengeluaran APBN untuk membeli barang dan jasa dari
usaha kecil.
·
Pemahaman
Bagaimanapun
juga, pemahaman permasalahan, konsep dan program yang operasional adalah yang
terpenting, lebih-lebih lagi karena kita sudah mempunyai departemen yang khusus
untuk pembinaan koperasi dan usaha kecil. Pemahaman pertama adalah bahwa usaha
kecil merupakan bagian dari dunia kewiraswastaan atau entrepreneurship. Kalau kita amati dunia ini, pengusaha kecil dapat
tumbuh menjadi pengusaha menengah, besar, raksasa, konglomerat, dan
transnasional tanpa bantuan dan pembinaan pemerintah. Bagian terbesar dari
konglomerat kita memulai usahanya sebagai pengusaha perorangan yang gurem.
Setelah berhasil menjadi kaya, ada konglomerat yang menggunakan kekayaannya
untuk bersaing secara tidak fair. Caranya
seribu satu macam. Dampaknya paling terbesar adalah terkekangnya mobilitas ke
atas dari pengusaha kecil adalah pembentukan monopoli, kondisi monopolistik dan
kartel.
·
Harus
Diberantas
Praktek
persaingan yang tidak adil dan praktek bisnis tukang catut, harus diberantas terlebih
dahulu atau bersama-sama dengan pembelaan dan pembinaan usaha kecil. Kita akan
percuma membela dan membina usaha kecil kalau praktek-praktek yang memblokir
mobilitas ke atas bagi pengusaha kecil masih dibiarkan berlangsung. Maka
undang-undang yang mengatur persaingan usaha lebih mendesak daripada
undang-undang mengenai pembinaan usaha kecil.
Di
dalam Negara pancasila yang mendambakan pemerataan dan keadilan, walaupun
dibiarkan bersaing dan dibiarkan menang bersaing sampai menjadi menengah dan
besar, kita juga peka terhadap yang kurang mampu bersaing, walaupun sudah
dibuat adil dan fair. Demi keadilan,
mereka perlu ditingkatkan kemampuannya agar skala ekonominya menjadi menengah.
Untuk
kepentingan ekspor yang akan sangat vital artinya bagi kita, usaha kecil kita
terlampau kecil skalanya untuk ikut serta di dalam kegiatan ekspor. Potensi
terbesar untuk ekspor ada pada usaha skala menengah. Hal ini telah dibuktikan
oleh Taiwan dan banyak Negara lainnya.
·
Program
Konsep
dan program pembinaan usaha kecil sangat luas, sehingga perlu dibahas dalam
artikel tersendiri. Bantuan modal, baik modal equity dalam bentuk modal ventura maupun modal pinjaman. Yang
mutlak adalah bahwa pemerintah, yaitu Departemen Koperasi dan Pembinaan Usaha
Kecil harus mempunyai modal yang cukup besar. Tidak dengan maksud langsung
beroperasi sendiri dengan bank, tetapi menggunakan uang ini sebagai garansi
terhadap dana yang disediakan oleh perbankan yang beragam, dipilih siapa yang
paling cocok untuk disuruh mendanai usaha kecil. Resikonya dijamin oleh
pemerintah melalui departemen tersebut.
Penguatan
manajemen. Ciri yang khas untuk pembinaan usaha kecil adalah penyuntikan modal
yang mutlak harus disertai dengan bimbingan dan pembinaan manajemen. Disini
pemerintah tidak perlu mengadakan lembaga pendidikan sendiri, tetapi bertindak
sebagai coordinator dari lembaga-lembaga yang sudah ada.
Pemasaran
merupakan titik lemah, yang tidak berdiri sendiri, karena kemungkinan
berhasilnya yang begitu erat kaitannya dengan kualitas produk yang
dihasilkannya. Penggunaan APBN sebagai sarana mengangkat usaha kecil. Caranya
adalah mencadangkan pembelian barang dan jasa tertentu dari usaha kecil.
4. Konsep dan Program Pembinaan Usaha
Kecil
·
Koperasi
Di
dalam kategori pengusaha kecil terdapat dua kelompok, yaitu kelompok pengusaha
kecil yang sangat miskin, hidup di dalam satuan geografis yang sama (desa),
dengan usaha yang homogen. Mereka pada umumnya bergerak dalam bidang pertanian,
peternakan dan perikanan. Kondisinya satu per satu terlampau kecil dan mereka
terlampau miskin untuk dapat mengembangkan usahanya sendiri-sendiri. Usahanya
juga tradisional, turun-temurun, dan sangat banyak ditentukan oleh faktor alam.
Mereka inilah yang paling cocok untuk dikembangkan dengan cara bersama-sama di
dalam koperasi. Namun demikian masih saja dikeluhkan bahwa usaha koperasi
Indonesia tidak berkembang, terutama KUD yang ada di desa-desa. Maka koperasi
tidak dibentuk oleh para anggotanya yang berkepentingan, tetapi oleh pejabat
pemerintah. Pemimpinnya tidak di pilih dari para anggotanya sendiri, tetapi
di-drop oleh pemerintah yang berasal dari pejabat. Apa yang harus digarap oleh
koperasi sebagai usahanya juga tidak ditentukan dari atas, oleh pemerintah atau
oknum dari pemerintah yang menjadi dominan di dalam koperasi.
Jadi
pembentukan koperasi dalam bentuk KUD-KUD memang sudah benar. Yang terpenting
adalah bahwa pembentukannya itu tidak dirasakan sebagai kewajiban atau paksaan.
Maka sebelum koperasi hendak didirikan perlu diberikan pemahaman yang matang
dan mendalam apa guna dan manfaat koperasi bagi mereka. Setelah koperasi
dibentuk, keseluruhan program pembelaan dan pembinaannya sama saja dengan yang
berlaku buat usaha kecil.
·
Usaha
kecil Individual
Usaha
kecil individual pada umumnya adalah usaha rumah tangga. Di setiap Negara, dari
tahapan satu ke tahapan lainnya di dalam kemajuan ekonominya, ukuran-ukuran
mengenai apa yang kecil, yang menengah dan besar selalu berubah-ubah. Yang
sekarang menengah, kelak dengan makin meningkatnya pendapatan perkapita, akan
menjadi kecil. Omset atau penjualan bruto setahun, besarnya kekayaan bersih
perusahaan dan jumlah karyawan, adalah tolak ukur yang lazim dipakai. Sebagai
contoh, omset setahun di bawah Rp 1 Milyar, jumlah kekayaan bersih dibawah Rp
400 juta dan jumlah karyawan lebih sedikit dari lima orang. Kalau dua dari
indicator ini terpenuhi, perusahaan yang bersangkutan berhak atas segala
fasilitas yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka pembinaan usaha kecil.
·
Pembelaan
dan Perlindungan
Nasib
usaha kecil sangat banyak dipengaruhi oleh kebijaksanaan pemerintah. Mak harus
ada badan khusus yang selalu waspada dan jeli meneliti apakah kebijaksanaan
pemerintah di dalam mengatur perekonomian kita ada yang merugikan kepentingan
usaha kecil atau tidak. Misalnya, adanya ketentuan bahwa orang hanya boleh
mulai dengan produksi minyak goreng kalau tingkat manufakturingnya sama dengan
yang udah ada dan 65 persen dari produknya segera harus di ekspor.
Kebijaksanaan demikian, jelas menutup kemungkinan usaha kecil bergerak dibidang
produksi minyak goreng. Termasuk di dalam program pembelaan adalah penelitian
terus-menerus mengenai bidang-bidang usaha apa yang setiap waktu paling cocok
ditangani oleh usaha kecil, dengan perspektif meningkat sampai menjadi usaha
menengah.
·
Modal
Modal
equity sangat penting, karena pada
umumnya di tahap awal tidak ada usaha yang sekaligus menghasilkan rentabilitas
usaha yang lebih besar dari bunga kredit bank, sehingga bisa dimulai dengan
modal pinjaman 100 persen. Modal pinjaman untuk usaha kecil adalah khas, karena
rumitnya administrasi dan besarnya resiko. Maka bank-bank hanya mau memberikan
kredit kepada usaha kecil kalau ada jaminan bahwa modalnya kembali. Tugas dari
badan pemerintah yang bersangkutan memberikan jaminan ini. Dengan demikian
pemerintah tidak perlu mendirikan sendiri bank-bank yang khusus untuk melayani
usaha kecil. Cukup mempunyai dana yang dipakai untuk memberikan jaminan atas
kelancaran pembayaran bunga dan cicilan utang pokok yang dipinjamkan saja.
·
Pencadangan
Pengeluaran APBN
Ini
merupakan sarana yang sangat penting, yaitu mencadangkan barang dan jasa
tertentu yang dibeli oleh pemerintah dari usaha kecil. Secara riil dan konkret,
program ini sangat besar artinya dan sudah terbukti antara lain di Amerika
Serikat.
SUMBER
:
Praktek bisnis dan
orientasi ekonomi Indonesia. Kwik Kian Gie; penyunting, Y. Priyo Utomo &
Sapto Widyatmiko. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Kiat sukses pengusaha
kecil. Marzuki Usman; editor, Marzuki Usman & Harry Sedadyo. Jakarta:
Jurnal keuangan dan moneter, 1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar